Cita-cita akan Cita Hukum Pancasila

Dalam ulasan khusus oleh Shidarta, dalam Jurnal Undang, “Bernard Arief Sidharta: Dari Pengembanan Hukum Teoretis ke Pembentukan Ilmu Hukum Nasional Indonesia” telah mempertegas bahwa cita hukum yang kemudian menjadi pandangan Sidharta, dipengaruhi oleh pemikiran Soediman …

Dalam ulasan khusus oleh Shidarta, dalam Jurnal Undang, “Bernard Arief Sidharta: Dari Pengembanan Hukum Teoretis ke Pembentukan Ilmu Hukum Nasional Indonesia” telah mempertegas bahwa cita hukum yang kemudian menjadi pandangan Sidharta, dipengaruhi oleh pemikiran Soediman Kartohadiprodjo. Menurut Shidarta, Bernard Arief Sidharta melakukan kajian yang sangat komprehensif terhadap keilmuan hukum Indonesia, untuk kemudian menjadikannya sebagai dasar-dasar bagi ilmu hukum nasional Indonesia. Ilmu hukum nasional tersebut harus berintikan cita hukum Pancasila, suatu pandangan yang banyak dipengaruhi pertama-tama oleh pemikiran Soediman Kartohadiprodjo dan kemudian oleh Mochtar KusumaAtmadja. Cita hukum ini berfungsi baik sebagai nilai imanen yang menjadi nilai-dasar untuk mendeskripsikan sumber hukum material Indonesia, maupun sebagai nilai transenden yang mengarahkan ke mana tata hukum nasional Indonesia itu akan berproses. Namun demikian, Sidharta sendiri belum tuntas melakukan penjabaran cita hukum Pancasila itu agar secara substansial dan implementatif dapat memberi warna yang khas bagi ilmu hukum nasional Indonesia yang dicita-citakannya (Shidarta, 2020).

Soal pengaruh yang disebutkan, penting untuk digambarkan. Dari buku Prof. Mr. Soediman Kartohadiprodjo tentang Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, diuraikan basis dari gagasan cita hukum (the idea of law rechtsidee). Disebutkan Kartohadiprodjo, hukum itu timbul dari rasa wajib yang tertanam dalam jiwa manusia, yakni dalam akal budi dan budi nurani manusia, yang mengharuskan manusia bersikap dan berperilaku dengan cara tertentu terhadap dan berkenaan dengan adanya manusia, sedemikian rupa sehingga martabat dan kodrat manusia tidak tertindas (Kartohadiprodjo, 2009).

Benarlah bahwa hukum menghendaki ketertiban dan keteraturan yang bersuasana ketentraman batin, kesenangan bergaul dengan sesamanya, keramahan dan kesejahteraan yang memungkinkan terjadinya interaksi antar manusia yang sejati. Hukum yang dijiwai Pancasaila adalah hukum yang berasaskan semangat kerukunan. Karena itu juga hukum secara langsung diarahkan untuk mewujudkan keadilan sosial dan memberikan kesejahteraan dalam makna material dan spiritual (Kartohadiprodjo, 2009).

Ada penekanan yang diberikan secara lebih terang, bahwa apa yang disebut sebagai ketertiban dan ketentraman itu bukanlah tujuan akhir, melainkan hanya tujuan antara. Kedamaian sejati dengan ketentraman batin, ditandai dengan empath al, yakni. Pertama, ia yakin bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan, termasik hal mempertahankan, haknya tidak tergantung pada kekuatan. Selain dari itu, perasaan tentram aka nada. Kedua, bilamana pada warga masyarakat merasa yakin, bahwa sepanjang tidak ada melanggar hak dan tidak merugikan orang lain, tanpa perasaan khawatir, secara bebas dapat menjalankan apa yang diyakininya sebagai benar. Ketiga, secara bebas ia dapat mengembangkan bakat-bakat dan kesenangannya. Keempat, ia akan selalu mendapat perlakuan secara wajar dan berperikemanusiaan, adil dan beradab, juga ketika ia telah melakukan suatu kesalahan. Dengan empat hal itulah, diyakini yang menjadi tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia (Kartohadiprodjo, 2009).

Inilah yang dimaksud sebagai hukum kita, yang berbeda dengan kultur Barat. Sebagaimana dalam satu bab lainnya, “Pancasila dan Hukum”, Kartohadiprodjo menjelaskan bagaimana Barat dalam melihay kita pada awalnya. Bangsa kita digolongkan oleh sementara orang Barat dalam “underdeveloped”, kemudian “developed peoples”. Bangsa kita memiliki kebudayaan sebagai bukti bahwa bangsa kita bukan bangsa biadab. Kebudayaan dalam arti luas, mencakup budi pekerti dan hukum. Masalahnya ketika bangsa-bangsa penjajah datang ke Indonesia, misinya tidak sebatas mengambil kekayaan di dalamnya, melainkan juga memperngaruhi cara berpikir termasuk dalam cara berpikir negara dan hukum.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment