Soediman was veel meer ‘guru’ dan geleerde
(Prof. GJ. Resink)
Kata-kata itu, ditulis Prof. Gertrudes Johannes Resink dalam artikelnya “Rechtshogeschool, Jongered, Stuw en Gestuwden”, dimuat dalam buku Lima Puluh Tahun Pendidikan Hukum di Indonesia, untuk menggambarkan Soediman Kartohadiprojo. Resink sendiri seorang Indo. Seorang esais, sastrawan, dan sarjana Belanda, kemudian tahun 1950 pindah dan menjadi warga negara Indonesia. Hingga akhir hayatnya mengabdi pada Universitas Indonesia. Ia konsisten menyampaikan kritik atas anggapan Indonesia selama 350 tahun dijajah Belanda (Ardiansah, 2023) Kata-kata yang ditulis tersebut, menyebut “Soediman lebih merupakan seorang guru ketimbang seorang ilmuwan”. Bukan berarti Soediman tidak menghasilkan karya ilmiah, tapi tipikal yang dibutuhkan waktu untuk membangun bangsa. Sampai-sampai Soekarno, dalam buku Dibawah Bendera Revolusi (1963), seorang guru itu “menjadi goeroe dimasa kebangoenan”.
Saya mengutip dari buku Prof. Mr. Soediman Kartohadiprojo tentang Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, diuraikan sosok ia sebagai sarjana hukum generasi pertama orang Indonesia. Lahir di Jatorogo, tanggal 3 September 1908, dari pasangan R. Toemenggoeng Bawadiman Kartohadiprodjo (asisten Wedana Jatirogo yang kemudian menjadi Bupati Pasuruan) dan R. Ayoe Oemi Kartohadiprodjo. Tahun 1915, ia belajar di Openbare Europese Lagere School (ELS) di Bojonegoro, lalu dilanjutkan ke Hogere Burgerschool (HBS) di Semarang. Tahun 1927 melanjutkan ke Rechtshogeschool di Jakarta. Studinya sempat berhenti ketika ayahnya meninggal, namun dengan bantuan Prof. Dr. JHA Logeman dan Prof. Mr. B. Ter Haar Bzn, ia akhirnya selesai studi tahun 1936 bergelar Meester in de Rechten (Mr.).
Sebagai salah seorang pemuda yang memiliki semangat nasionalisme, patriotisme, idealisme, dan kemanusiaan, Kartohadiprojo terlibat dalam aktivis Tri Koro Darmo, Jong Java, dan Indonesia Muda, dan turut serta dalam Kongres Sumpah Pemuda 1928. Semangat ini pula yang dipeliharanya ketika menjadi hakim, pengacara, jaksa, hingga guru besar. Soediman Kartohadiprojo pernah merasakan semua jabatan tersebut. Dalam kuliah, ia selalu mengajarkan agar lulusan tidak menjadi ahli hukum atau advokat “ter kwader trouw” (beriktikad buruk).
Prof. Mr. Soediman Kartohadiprojo bersama-sama dengan Prof. Notonagoro, termasuk ke dalam sedikit sarjana hukum Indonesia generasi pertama yang memberi perhatian khusus terhadap Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia. Hanya dengan penguatan ini akan diperoleh hukum yang berkaitan dengan kehidupan manusia bermasyarakat yang bertujuan mewujudkan keadilan. Sistem hukum kolonial, dirasakan tidak memberi keadilan pada bangsanya yang merasakan ketidakadilan ketika dijajah.
Beranjak dari cara berpikir seperti inilah, Soediman Kartohadiprojo berpendapat bahwa pandangan hidup Pancasila berpangkal pada keyakinan bahwa alam semesta dengan segala hal yang ada di dalamnya sebagai suatu keseluruhan yang terjadi secara harmonis diciptakan Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan pandangan ini, ia diwujudkan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk hukum. Penerapan atau realitasi Pancasila pada bidang hukum menumbuhkan ketentuan-ketentuan hukum yang dijiwai atau diwarnai oleh Pancasila. Keseluruh tata hukum sebagai suatu sistem aturan hukum positif yang merupakan penjabaran atau penerapan Pancasila pada bidang hukum, yang disebut sebagai hukum Pancasila.
Cita-cita inilah yang membuat Soediman Kartohadiprojo penting ketika negara hukum Indonesia dibicarakan. Negara hukum yang sesungguhnya juga tidak mungkin dilepaskan berbagai pengaruh pemikiran Barat di dalamnya. Negara hukum yang memiliki kekhasan dengan kondisi dan cara pandang bangsa Indonesia sendiri. Setelah generasi-generasi awal, seperti Sidharta, sejumlah akademisi juga berbicara terkait konteks ini, seperti Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie dan Prof. Dr. Arief Hidayat, ketika mereka menjabat hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.