Saya ingin mengutip satu pendapat lama dari Mas Achmad Santosa terkait bagaimana peranan hukum lingkungan terkait dengan blue environment law. Hal ini, disampaikan Santosa dalam satu diskusi daring tanggal 16 Oktober 2021 yang bertema “The Future of Environmental Law: Challenges and Opportunities to Promote Environmental Sustainability” (Prasetyo, 2021).
Secara khusus memang Santosa berangkat dari blue environment law, akan tetapi karena diskusi terkait the future environmental law, apa yang disampaikannya sangat penting bagi hukum lingkungan secara umum. Blue environment law sendiri sebagai satu cabang hukum lingkungan yang berfokus pada pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup laut dan pesisir, konsep tersebut menekankan pada pentingnya hukum untuk mendukung ekonomi biru (pemanfaatan sumber daya alam laut dan pesisir dengan konsep pembangunan berkelanjutan).
Pertama, posisi politik hukum. Ada sejumlah faktor yang harus dilihat yang hal itu mempengaruhi politik hukum negara tentang pembangunan hijau, yakni wawasan dan komitmen presiden, dinamika dan kebijakan global seiring menguatnya globalisasi dan Kerjasama multilateral; dan bilateral. Santosa melihat belum adanya redefinisi weak to strong sustainable development.
Kedua, kondisi dan dinamika di tingkat nasional terkait kondisi demokrasi, governance, dan rule of law (enabler), tuntutan dan aspirasi publik (tekanan publik dan daya pengaruh), respek negara terhadap lembaga internasional, menguatnya globalisasi dan kerja sama multilateral dan bilateral, serta global depencendy.
Santosa menyebut setidaknya ada lima prasyarat agar hukum lingkungan bisa berjalan dengan baik di negara ini, yakni kepemimpinan nasional, kondisi demokrasi, kondisi pemerintahan, aturan hukum dan aktivisme, dan daya pengaruh masyarakat sipil.
Kutipan inilah yang bagi saya sangat penting dan khas dari kajian-kajian dan pengalaman Mas Achmad Santosa. Ketika hukum lingkungan tak semata dilihat pada posisi dan hukum semata. Hukum tak semata juga berhenti pada konsep, melainkan juga pada daya berlakunya.
Melihat cara pandang –sekaligus cara berpikir semacam ini, sebenarnya bukan hal yang berlebihan jika membuka jejak dari Santosa. Ia sebagai ahli hukum lingkungan, yang pada awal reformasi terlibat aktif dalam memikirkan hukum lingkungan nasional. Secara khusus terlibat mendirikan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL). Barang kali pengalaman tersebut yang membuat cara pandangnya terhadap hukum lingkungan lebih terbuka dan luas. Termasuk pengalamannya dalam berbagai aktivitas yang terkait pemerintahan, pembaruan hukum, tata kelola pemerintahan yang baik, serta resolusi konflik.
Secara formal, Santosa juga pernah terlibat dalam unit kerja pengawasan dan pengendalian pembangunan, termasuk satuan tugas pemberantasan mafia hukum. Khusus dalam bidang kelautan dan perikanan, ia pernah menjadi ketua tim dari satuan tugas pencegahan dan pemberantasan illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing.
Tipikal dalam melihat hukum secara berbeda harus dilihat dalam berbagai pengalaman yang menempa. Saya kira, termasuk dalam hukum lingkungan, perspektif ini terbangun tidak bisa lepas dari bagaimana pengalaman seseorang dalam melihat satu masalah yang terjadi.
Dengan melihat kondisi tersebut, tawaran saya yang menyebut jalan pembangunan hijau, mudah-mudahan tidak berlebihan. Istilah jalan, hanya untuk mempertegas bahwa ia sebagai sesuatu yang sudah dibangun dalam hukumnya, dan membutuhkan upaya lebih jauh dalam menjaga konsistensi dan memastikan apa yang ada dalam dokumen hukum itu berelasi dengan realitas.
Saya kira hal itu menjadi hambatan dalam menjaga agar hukum berjalan dengan baik. hambatan kedua, bagaimana upaya yang dilakukan untuk mengoreksi hukum yang sudah dibangun namun kontraproduktif dengan tujuan-tujuan dari pembangunan berkelanjutan. Dalam konsep hukum, bisa tersimpan maksud tersembunyi dari lahirnya satu hukum tertentu.
Dengan demikian, dalam realitas, sesungguhnya apa yang disebut sebagai pembangunan hijau itu selalu bisa diuji: apakah hukumnya secara utuh dan holistik saling mendukung untuk pembangunan ini? Lalu apakah dalam realitas, juga dimiliki semangat yang sama?
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.